Melafadzkan (mengucapkan) Niat
Melafadzkan (mengucapkan) Niat
Sebenarnya sudah sejak lama Para ulama’ Fuqaha’ (yang bermadzhabkan Imam Syafi’i, baik yang Mutaqaddimin mau pun yang mutaakhkhirin) telah membahas masalah melafadzkan (mengucapkan) niat ini dengan mendalam dan seluas-luasnya, secara serius dan sungguh-sungguh, melalui peninjauan dari berbagai segi dan bermacam-macam dalil. Dan yang pada kesimpulan akhirnya mereka sepakat bahwa melafadzkan (mengucapkan) niat adalah sunnah.
Untuk menjelaskan secara detail tentang cara mereka ber-istidlal, tentulah dibutuhkan tulisan yang sangat paaaaaaanjang, dan mungkin tidaklah cukup dengan satu buah buku tebal membahas masalah ini hingga habis dan tuntas. Apalagi menjelaskan kepada khalayak umum yang tidak begitu memahami cara-cara beristidlal (pengambilan dalil hukum dari al Qur-an dan al Hadits).
Akan tetapi, sungguhpun demikian, semoga saja sedikit tulisan ini bisa membantu dalam memberikan pemahaman. Yang selanjutnya, kami serahkan semuanya kepada Allah SWT yang telah mengajarkan ilmu dzahiriyah dan bathiniyah, ikhtiyariyah dan ladunniyah, Sang pemilik kebenaran sejati.
Perlu untuk diketahui lebih dulu, bahwa dalam disiplin Ilmu Fiqh terbagi menjadi dua bagian, Fiqh Ibadah dan Fiqh Mu’amalah. Dalam Fiqh Ibadah, tolok ukurnya adalah tergantung dari Niat. Sedangkan mu’amalah tolok ukurnya adalah akad. Dari pemahaman tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa betapa pentingnya peranan niat dalam suatu ibadah.
Niat menurut bahasa berarti sengaja. Sedangkan menurut istilah Syara’ Niat adalah penyengajaan sesuatu perbuatan (ibadah) yang dibarengi dengan perbuatan itu sendiri. Bila penyengajaan itu jauh dari (waktu) perbuatannya maka disebut dengan Azam (tekad). Adapun tempat niat adalah hati. Dan melafadzkan (mengucapkan) niat hukumnya adalah sunnah, dengan maksud dan tujuan agar lisan dapat membantu hati. Hal ini banyak dinyatakan pada beberapa keterangan dalam kitab-kitab Fiqh (khususnya yang bermadzhabkan Imam Asy Syafi’i).
Tujuan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan yang ibadah dan perbuatan yang sebangsa adat atau kebiasaan (bukan ibadah), sebagai contohnya adalah seseorang yang sedang duduk-duduk di masjid adakalanya sedang melakukan i’tikaf, dan adakalanya pula sedang istirahat. Maka, dari contoh seperti itu, perlu adanya niat sebagai pembeda antara duduk-duduk biasa atau duduk-duduk istirahat di masjid dan duduk i’tikaf yang merupakan ibadah. Tujuan niat yang lainnya adalah agar dapat membedakan derajat sebuah ibadah, sunnah ataukah wajib.
Dasar-dasar atau dalil yang menyatakan pentingnya niat dalam sebuah ibadah adalah :
1. Di dalam Al Qur-anul karim, surat al bayyinah ayat 5 :
وما أُمروا إلا ليعبد وا اللهَ مخلصين له الد ين
Dan tidaklah mereka (manusia) diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah, dengan meng-ikhlash-kan (memurnikan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Manusia diperintah oleh Allah untuk menjalankan ibadah. Perintah Allah itu disebut amar. Dan yang menurut ilmu ushul fiqh, semua perintah itu pada dasarnya adalah wajib. Kesimpulannya, beribadah (menyembah) kepada Allah itu adalah wajib, dan diantara ibadah (menyembah) kepada Allah salah satunya adalah Shalat lima waktu. Maka berarti shalat lima waktu itu adalah wajib.
Kemudian pada ayat ini juga dinyatakan bahwa dalam beribadah kepada Allah haruslah semata-mata karena mengikuti perintah-Nya. Kata “meng-ikhlash-kan/memurnikan” menurut ilmu nahwu adalah berkedudukan sebagai “chal”, yang berarti sedang dalam keadaan. Jadi maksud ayat ini adalah “Dan tidaklah mereka (manusia) diperintah, kecuali untuk beribadah kepada Allah, dengan dalam keadaan meng- ikhlash-kan (memurnikan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Sedangkan menurut Imam Qurthubi (seorang ahli tafsir masyhur), ayat ini meng-indikasikan sebagai dalil bahwa Niat itu adalah wajib bagi semua macam bentuk ibadah. Karna ikhlash adalah perbuatan hati, yaitu penyengajaan bahwa semua ibadah itu semata-mata dilakukan karna Allah. Tidak karna yang lain .
2. Dalam Hadits Riwayat Imam Bukhori :
عن عمر ابن الخطاب رضي الله عنه انه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إنّما الاعمال بالنيات وإنّما لكل امرئ ما نوى
( رواه البخاري )
Artinya : Dari Sayyidina Umar bin Khoththob R A, Beliau berkata : Sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rosululloh SAW bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan (ibadah) itu harus dengan niat. Dan setiap orang itu mendapatkan apa yang diniatkan.
(HR. Bukhori)
Hadits ini adalah hadits shohih, muttafaqun alaihi, yakni diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Namun bukan hanya Imam Bukhori dan Imam muslim saja yang meriwayatkan hadits tersebut. Tetapi, Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Abi Dawud.
Oleh karna begitu pentingnya hadits ini sehingga Imam Bukhori meletakkan hadits ini pada tujuh tempat. Yakni di kitab-kitab :
1. Kitab Badul Wahyi
2. Kitabul Iman
3. Kitabul ‘Itqi
4. Kitab Manaqibul Anshar
5. Kitabun Nikah
6. Kitabul Aiman wan Nudzur
7. Kitabul Chiyal
Maksud hadits tersebut adalah bahwa semua amal ibadah mesti dan harus dengan niat. Hadits ini adalah perintah (amar). Bukan hadits khobar semata-mata. Karna kalau diindikasikan sebagai hadits khobar sangatlah di cocok dan tidak pas. Sebab tidak semua perbuatan dilakukan dengan niat, tetapi ada juga perbuatan yang dilakukan dengan tidak niat.
Dalam Hadits tersebut ada huruf “bi” yang mendahului kata “niat”. “bi” dalam hadits tersebut berarti “mushahabah” (bertemu). Maka itu mempunyai maksud bahwa Niat itu tidak boleh mendahului perbuatannya, atau lebih akhir dari perbuatannya. Tetapi harus dilakukan bersamaan dengan perbuatannya. Semisal dalam berwudlu’, niat harus dilakukan bersamaan ketika diawal perbuatan membasuh muka. Dan dalam sholat, niat haruslah dilakukan bersamaan ketika seseorang membaca takbirotul ihrom.
Terkecuali dalam ibadah puasa, karna sulitnya mengetahui masuknya awal hari, dari malam menuju siang terpaut hanya satu detik saja. Maka niat puasa haruslah didahulukan dari perbuatannya.
3. Menurut kesepakatan para Imam Mujtahid yang hidup dalam satu kurun waktu yang sama. Dan tidak ada seorang pun Ulama’ yang membantah dan berbeda pendapat. Semua Ulama’ di zaman tersebut sepakat, bahwa tidaklah sah ibadah seseorang tanpa adanya niat.
Dalil melafadzkan (mengucapkan Niat) :
Dalil tentang melafadzkan niat adalah meng-qiyaskan niat sholat terhadap niat haji.
Dalam kitab Fathul bari dituliskan :
عن عمر رضي الله عنه يقول سمعت رسول الله ﷺ بواد العقيق يقول أتاني الليلة آتٍ من ربي فقال صلّ في هذا الواد المبارك وقل عمرةً في حجّةٍ
( رواه البخاري )
Diceritakan dari sayyidina Umar RA beliau berkata : aku pernah mendengar bahwa Rosululloh SAW berkata di Wadi’ Aqiq : telah datang tadi malam utusan Tuhanku, Ia memerintahkan supaya kita sholat di lembah yang diberkati ini. Dan ucapkanlah “ Umrah dalam haji” (hadits riwayat Imam Bukhori)
Hadits ini adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya “kitabul Hajji”.
Hadits tersebut menyatakan bahwa Rosululloh SAW dan para Sahabatnya ketika sampai di padang Aqiq menuju naik haji ke Makkatal Mukarromah, beliau memerintahkan kepada Sahabat-Sahabatnya supaya berniat “Umroh bersama Hajji”. Dalam hadis ini menunjukkan bahwa Nabi bersama dengan para Sahabatnya hendak melakukan Haji Qiran, yakni Haji bersama-sama dengan Umrah. (lembah Aqiq adalah sebuah daerah yang berjarak 4 mil dari kota Madinah).
Dinyatakan pula dalam hadits tersebut bahwa Nabi menyuruh melafadzkan niat haji, yakni dengan pernyataan beliau “Qul” yang berarti katakanlah. “Katakanlah” adalah mengindikasikan sebuah perbutan lisan yang berarti melafadzkan (mengucapkan) niat.
Nah, kalau dalam ibadah Haji diperbolehkan mengucapakan niat, maka tidaklah ada salahnya bila dalam ibadah sholat mengucapkan niat juga. Karna itulah, maka Imam ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya Tuhfah, bahwa mengucapkan Usholli itu diqiyaskan pada ibadah haji.
Imam nawawi, seorang ulama’ besar yang bermadzhabkan Imam Asy-Syafi’i (630-676 H) telah menuliskan masalah ini dalam kitabnya “Minhajuth Tholibin”. Yang kabarnya, dari kitab inilah awalnya yang dibawa oleh Ulama’ Gujarat (Wali Songo) ke Indonesia untuk menyebarkan agama islam. Maka jadilah orang islam Indonesia seluruhnnya (pada priode awalnya dulu) menganut Madzhab Imam Asy-Syafi’i. Dan dari kitab ini juga, banyak ulama’ yang menuliskan Syarach-nya. Diantaranya adalah :
- Syaikh Jalaluddin Al Mahally (wafat 838 H) dengan kitabnya Mahally.
- Imam Ibnu Hajar Al Haitamy (wafat 974 H) dengan kitabnya Tuhfatul Muhtaj Ila Syarkhil Minhaj.
- Imam Khotib Syarbiny (wafat 977 H) dengan kitabnya Mughni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzil Minhaj.
- Imam Syamsuddin Ar Ramli (wafat 1004 H) dengan kitabnya Nihayatul Muhtaj Ila Syarkhil Minhaj (8 jilid tebal)
- Dan masih banyak lagi Ulama’ yang lain yang menyusun syarakh terhadap kitab Minhaj. Kira-kira sekitar 29 orang Ulama’ dengan berbagai nama kitabnya masing-masing.
1. Al Fatawy Al Hindiyyah fi madzhabi Al Imam Al A’dzom Abu Hanifah (mengikuti madzhab Imam Hanafy) karya Syaikh Nidzom bersama para Ulama’ India) :
وكيفيتها ان يقول نويت ان أتوضأ للصلاة تقرّباً إلى الله تعالى او نويت رفع الحدث او نويت الطهارةَ او نويت استباحةَ الصلاةِ كذا في السِّراج الوهَّاب وأمّا وقتها فعند غسل الوجه ومحلّها القلب والتلفظ بها مستحبّ كذا في الجوهرة النيرة
Caranya niat adalah dengan sekira mengucapkan “Aku niat wudlu untuk Sholat sepaya mendekat kepada Alloh” atau “Aku niat menghilangkan hadats” atau “aku niat bersuci” atau “Aku niat agar diperbolehkan melakukan Sholat”. Demikian diterangkan dalam kitab Ash-Shirojul Wahhaj. Adapun waktunya niat adalah ketika membasuh wajah. Tempatnya adalah didalam hati. Dan melafadzkannya adalah disunnahkan. Demikian keterangan dalam kitab Al Jauharotun Nayyiroh
(Fashlu Ats-Tsalits fi Al Mustahabbat juz 1)
2. Chasyiyah Ad Dasuqy ‘Ala Syarchil Kabir Muhammad Ad Dasuqy Al Maliky karya Syaich Abdullah bin Abdurrahman Ba Fadlol Al Hadromy (mengikuti madzhab Imam Maliki) :
قوله ( بمعنى خلاف الأولى ) لكن يُستثنى منه الموسوِس فإنه يُستحبّ له التلفظ بما يفيد النيّةَ ليذهب عنه اللبسُ كما في الموّاق وهذا الحلُّ الذي حلَّ به شارخنا وهو أنّ معنى واسعٍ أنّه خلاف الاَوْلىٰ عدم التلفظ وهو الذي حلّ بهٖ بهرام تبعاً لأبي الحسن والمصنّف في التوضيح وخلافــــــــــــــــه تقريران الأوّلُ أنّ التلفظَ وعدمه على حدِّ سواءٍ ثانيهما أنّ معنى واســــــــــــــــــــع أنّه غيرُ مضيَّقٍ فيه فإنْ شاء قال أُصلي فرض الظهر او أُصلي الظهر او نويت ان أصلّي ونحو ذٰلك
Ungkapan (tentang makna khilaful aula) itu mengecualikan orang yang was-was. Maka bagi dia (orang yang was-was) sunnah melafadzkan sesuatu yang dapat melahirkan niat (di dalam hati), untuk menghilangkan kesamaran itu. Seperti yang terjadi pada orang pandir (ediot). Uraian ini sama dengan keterangan penyarah kitab, yaitu sesungguhnya makna wasi’un adalah khilaful aula. Sedangkan yang utama itu tidak melafadzkannya. Demikianlah yang diuraikan oleh Imam (Taajuddin) Bahrom (bin Abdullsh ad Damiry, w : 805 H) mengikuti pendapat Abil Hasan dan Mushonnif dlam kitab At Taudlich). Dan pendapat yang kontra dengan pendapat (yang utama tanpa adanya melafadzkan) itu ada dua pendapat. Yang pertama, sesungguhnya melafadzkan niat atau tidak itu adalah sama. Kedua, sesungguhnya ma’na wasi’ itu artinya tidak di persulit. Sehingga siapa saja yang mau mengucapkan, maka ucapkanlah : Usholli fardlodz dzuhri atau ushollidz dzuhro atau nawaitu usholli dan semisalnya.
3. Al Muqaddimah al Hadlramiyyah karya Abdullah bin Abdurrahman Ba Fadlal Al Hadlramy (mengikuti madzhab Imam Syafi’i) :
و(فصل) في سنّة الصلاة : و يسنّ التلفظ بالنّية قبيل التكبير
(Fashal) yang menjelaskan tentang sunnah-sunnah shalat : dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sedikit sebelum takbir.
4. Al Mubdi’ Syarchul Muqni’ karya Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Muflih (w : 884 H). (mengikuti madzhab Imam Hanbali) :
4. Al Mubdi’ Syarchul Muqni’ karya Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Muflih (w : 884 H). (mengikuti madzhab Imam Hanbali) :
و محلها القلب و التلفظ ليس بشرط إذ الغرض جعل العبادة لله تعالى وذلك حاصل بالنّية لكن ذكر ابن الجوزي وغيره أنّه يستحبّ ان يلفظ بما نواه وإن سبق لسانه إلى غير ما نواه لم يضر فإن تلفظ بما نواه كان تأكيداً ذكره في الشرح
Tempat niat adalah hati, mengucapkannya bukanlah merupakan syarat, sebab tujuannya adalah menjadikan ibadah itu murni karna Allah, dan itu telah terpenuhi dengan niat. Tapi Ibnul Jauzy dan Ulama’ lainnya
menyebutkan bahwa sesungguhnya melafadzkan (mengucapkan) yang ia niatkan adalah sunnah. Dan bila lisan keliru dalam melafadzkan apa yang ia niatkan, maka itu tidaklah berbahaya. Dan bila ia melafadzkan apa
yang ia niatkan, maka itu adalah menjadi penguat. Yang demikian ini disebutkan dalam Syarach.
Dari sedikit uraian di atas tadi, maka dapatlah kita simpulkan bahwa niat adalah wajib dalam mengawali setiap perbuatan yang bernilai ibadah. Tanpa adanya niat, maka sebuah ibadah tidak sah dianggap sebagai ibadah. Sedangkan mengucapkan Niat, menurut kesepakatan para Ulama’ (mutaqaddimin dan mutaakhkhirin) itu hukumnya adalah sunnah dengan tujuan agar dapat membantu dan meluruskan hati dalam penyengajaan sebuah perbuatan ibadah.
Wallohu a’lamu bish Showab.
Dari sedikit uraian di atas tadi, maka dapatlah kita simpulkan bahwa niat adalah wajib dalam mengawali setiap perbuatan yang bernilai ibadah. Tanpa adanya niat, maka sebuah ibadah tidak sah dianggap sebagai ibadah. Sedangkan mengucapkan Niat, menurut kesepakatan para Ulama’ (mutaqaddimin dan mutaakhkhirin) itu hukumnya adalah sunnah dengan tujuan agar dapat membantu dan meluruskan hati dalam penyengajaan sebuah perbuatan ibadah.
Wallohu a’lamu bish Showab.
Sumber :
- Al Muqaddimah al Hadlramiyyah karya Abdullah bin Abdurrahman Ba Fadlal Al Hadlramy.
- Al Mubdi’ Syarchul Muqni’ karya Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Muflih (w : 884 H)
- Al Fatawy Al Hindiyyah fi madzhabi Al Imam Al A’dzom Abu Hanifah karya Syaikh Nidzom bersama para Ulama’ India).
- Chasyiyah Ad Dasuqy ‘Ala Syarchil Kabir Muhammad Ad Dasuqy Al Maliky karya Syaich Abdullah bin Abdurrahman Ba Fadlol Al Hadromy.
- Mahally karya Syaikh Jalaluddin Al Mahally (wafat 838 H).
- Mughni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzil Minhaj karya Imam Khotib Syarbiny (wafat 977 H).
- Nihayatul Muhtaj Ila Syarkhil Minhaj karya Imam Syamsuddin Ar Ramli (wafat 1004 H).
- Shohih Bukhori karya Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari.
- Tuhfatul Muhtaj Ila Syarkhil Minhaj karya Imam Ibnu Hajar Al Haitamy (wafat 974 H).
0 komentar:
Posting Komentar