Niat Puasa Ramadlan
Niat Puasa Ramadlan
نويت صوم غد عن أدآء فرض شهر رمضان هذه السنة فرضا لله تعالى
Ramadlana atau Ramadlani ? Manakah yang benar ketika diucapkan dalam niat puasa Ramadhan ?
Sebelumnya perlu untuk diketahui terlebih dahulu, bahwa lafadz RAMADLAN adalah termasuk isim ghoiru Munshorif (isim yg tidak bisa menerima masuknya tanwin atau kasroh), illahnya adalah alamiyah dan ziyadah alif nun. Namun isim ghoiru munshorif, harus gugur ke-ghoiru munshorifannya (dalam artian, isim ghoiru munshorif berubah menjadi munshorif yakni harus menerima tanwin atau kasroh) manakala kemasukan Al atau berkedudukan sebagai mudhof (idhofah, bukan mudhof ilaih).
Dalam Kitab Baijury (juz 1 hal 555/Dar El Kutub El Ilmyyah) karya As Syaikh Ibrahim Al Baijury ala Madzhabis Syafi’i, menyebutkan :
قوله (رمضان هذه السنة) بإضافة رمضان إلى إسم الإشارة لتكون الإضافة معينةً لكونه رمضان هذه السنة ٖ و أيضاً على عدم الإضافة تكون هذه السنة ظرفاً لقوله "نويتُ وهو فاسد لأنّ ظرف النية اللحظة التي وقعت فيها من الليل لا السنة
Penjelasan Mushonnif tentang kalimat “Ramadlan hadzihis sanah” itu dengan meng-idlofahkan Lafadz (kata) “ramadlan” kepada isim isyarah (hadzihi), bertujuan supaya adanya idlofah itu menentukan adanya ramadlan adalah ramadlan tahun ini. Dan juga, tidak adanya idlofah itu akan menjadikan hadzihis sanah berkedudukan sebagai dzorof terhadap ucapan “nawaitu”, dan yang demikian ini adalah rusak (makna dan susunannya), karna dzorofnya niat itu terjadi sesaat yang jatuh pada niat di malam hari, bukan waktu setahun.
Sedangkan dalam Kitab Qolyuby (juz 2 hal 53 / Dar El Fikr) karya As Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qolyuby ala Madzhabis Syafi’i, menyebutkan :
Sedangkan dalam Kitab Qolyuby (juz 2 hal 53 / Dar El Fikr) karya As Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qolyuby ala Madzhabis Syafi’i, menyebutkan :
قوله (وفي اصل الروضة وكمال النيّة) وهي أولى (قوله بإضافة رمضان) إلى هذه فنونه مكسورة لأنّه مخفوض وذلك لإخراج توهّم صوم رمضان غير هذه السنة فيها او لدفع توهّم تعلق هذه بنويت ولا معنى له
Penjelasan Mushonnif Di dalam asal pokok kitab Ar Roudlah di terangkan bahwa sempurnanya (mengucapkan niat dengan sempurna) adalah lebih utama. Dan Penjelasan Mushonnif tentang kata “ramadlan” itu dimudlofkan pada kata “hadzihi”, dan nun pada kata “ramadlan” tersebut dikasroh. Karna kata “ramadlan” dalam posisi jar. Keadaan yang demikian itu bertujuan untuk mengeluarkan pemahaman puasa ramadlan selain tahun ini didalamnya (niat tersebut), atau dengan tujuan untuk menolak pemahaman hubungan kata “hadzihi” terhadap kata “nawaitu”, dan untuk menolak tidak adanya makna pada (hubungan kata “hadzihi” terhadap kata “nawaitu”).
Maksudnya adalah, lafadz “Ramadlan” harus dimudlofkan terhadap lafadz “hadzihi” yang sebagai akibatnya adalah lafadz “Ramadlan” nun-nya harus berharakat kasrah, walaupun lafadz “Ramadlan” sebenarnya adalah isim ghoiru munshorif. Lafadz “Ramadlan” disini nun-nya harus berharakat kasrah adalah karna lafadz “Ramadlan” tersebut berposisi jar yang dalam keadaan mudlof terhadap lafadz “hadzihi”. Seperti yang telah dijelaskan diawal tadi, bahwa isim ghoiru munshorif itu harus gugur ke-ghoiru munshorifannya (dalam artian, isim ghoiru munshorif berubah menjadi munshorif), yakni harus menerima tanwin atau kasroh manakala kemasukan Al atau berkedudukan sebagai mudhof (idhofah, bukan mudhof ilaih).
Semua bertujuan untuk meniadakan pemahaman puasa ramadlan selain tahun ini, yakni puasa ramadlan pada tahun ini. Atau untuk meniadakan pemahaman yang tak bermakna dari susunan kalimat yang memposisikan hadzihis Sanah sebagai dzorof.
Sandainya lafadz “Ramadlan” pada kalimat tersebut tidak diposisikan sebagai mudhof (idhofah) kepada isim isyaroh (hadzihi), akan tetapi mendudukkan lafadz “Hadzihis Sanah” sebagai dzorof, maka seharusnya kalimat tersebut berbunyi “hadzihis sanata”, bukan “hadzihis sanati”. Dan itupun tentunya akan memunculkan pemahaman makna bahwa “aku niat pada tahun ini........”, bukan “aku niat puasa pada tahun ini........”. Karna setiap dzorof itu berta’alluq terhadap fi’ilnya, dalam hal ini adalah lafadz “Nawaitu”. Demikian ini dijelaskan dalam “Alfiyah Ibnu Malik”. Oleh karena setiap dzorof itu berta’alluq terhadap fi’il, karenanya kemudian dzorof disebut juga sebagai Maf’ul Ma’ah.
Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa nait Puasa Ramadlan yang benar menurut pendapat As Syaikh Ibrahim Al Baijury dan As Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qolyuby, (serta diulas juga dalam I'anatut tholibin) adalah :
نويت صوم غد عن أدآء فرض شهر رمضان هذه السنة فرضا لله تعالى
Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i fardli syahri ramadlani hadzihis sanati fardlon lillahi ta'ala
Dan kemudian, kalau ada yang mengucapkan bahwa itu semua kan menurut pendapat ulama’ Fiqh, bukan Ulama’ Ahli Nahwu. Sebab menurut ilmu nahwu semua itu bisa terjadi, yang penting alasannya tepat. Maka, menurut pendapat saya, apakah seorang Ulama Mushonnif ahli fiqih itu bodoh terhadap ilmu nahwu ? kalau beliau adalah orang yang bodoh dalam bidang nahwu, mana mungkin beliau bisa menulis dan menyusun kitab yang berbahasa arab.
Wallohu A’lamu
Maksudnya adalah, lafadz “Ramadlan” harus dimudlofkan terhadap lafadz “hadzihi” yang sebagai akibatnya adalah lafadz “Ramadlan” nun-nya harus berharakat kasrah, walaupun lafadz “Ramadlan” sebenarnya adalah isim ghoiru munshorif. Lafadz “Ramadlan” disini nun-nya harus berharakat kasrah adalah karna lafadz “Ramadlan” tersebut berposisi jar yang dalam keadaan mudlof terhadap lafadz “hadzihi”. Seperti yang telah dijelaskan diawal tadi, bahwa isim ghoiru munshorif itu harus gugur ke-ghoiru munshorifannya (dalam artian, isim ghoiru munshorif berubah menjadi munshorif), yakni harus menerima tanwin atau kasroh manakala kemasukan Al atau berkedudukan sebagai mudhof (idhofah, bukan mudhof ilaih).
Semua bertujuan untuk meniadakan pemahaman puasa ramadlan selain tahun ini, yakni puasa ramadlan pada tahun ini. Atau untuk meniadakan pemahaman yang tak bermakna dari susunan kalimat yang memposisikan hadzihis Sanah sebagai dzorof.
Sandainya lafadz “Ramadlan” pada kalimat tersebut tidak diposisikan sebagai mudhof (idhofah) kepada isim isyaroh (hadzihi), akan tetapi mendudukkan lafadz “Hadzihis Sanah” sebagai dzorof, maka seharusnya kalimat tersebut berbunyi “hadzihis sanata”, bukan “hadzihis sanati”. Dan itupun tentunya akan memunculkan pemahaman makna bahwa “aku niat pada tahun ini........”, bukan “aku niat puasa pada tahun ini........”. Karna setiap dzorof itu berta’alluq terhadap fi’ilnya, dalam hal ini adalah lafadz “Nawaitu”. Demikian ini dijelaskan dalam “Alfiyah Ibnu Malik”. Oleh karena setiap dzorof itu berta’alluq terhadap fi’il, karenanya kemudian dzorof disebut juga sebagai Maf’ul Ma’ah.
Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa nait Puasa Ramadlan yang benar menurut pendapat As Syaikh Ibrahim Al Baijury dan As Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qolyuby, (serta diulas juga dalam I'anatut tholibin) adalah :
نويت صوم غد عن أدآء فرض شهر رمضان هذه السنة فرضا لله تعالى
Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i fardli syahri ramadlani hadzihis sanati fardlon lillahi ta'ala
Dan kemudian, kalau ada yang mengucapkan bahwa itu semua kan menurut pendapat ulama’ Fiqh, bukan Ulama’ Ahli Nahwu. Sebab menurut ilmu nahwu semua itu bisa terjadi, yang penting alasannya tepat. Maka, menurut pendapat saya, apakah seorang Ulama Mushonnif ahli fiqih itu bodoh terhadap ilmu nahwu ? kalau beliau adalah orang yang bodoh dalam bidang nahwu, mana mungkin beliau bisa menulis dan menyusun kitab yang berbahasa arab.
Wallohu A’lamu
Sumber :
- Baijury karya As Syaikh Ibrahim Al Baijury ala Madzhabis Syafi’i.
- Qolyuby karya As Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qolyuby ala Madzhabis Syafi’i.
3 komentar:
Maaf Ustadz bila tidak sopan, mohon izin untuk kopas ?!
Dengan senang hati, semoga membawa manfaat bagi semua. amin
Izin share ustadz....
Posting Komentar