Cari di Blog Ini

Orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa

Orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa


Menurut beberapa Ulama' Syafi'iyyah, orang-orang yang diperbolehkan tidak puasa adalah :


1. Orang yang sedang dalam perjalanan (bepergian) dengan syarat bahwa perjalanan yang ditempuh haruslah berjarak tempuh masafatil qashri (perjalanan jauh), dan perjalanan tersebut tidak dalam rangka bermaksiat, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Namun baginya tetap wajib mengqadla’ puasanya sejumlah hari yang ia tinggalkan tidak puasa, pada hari hari yang lain. Akan tetapi berpuasa adalah tetap lebih utama dari pada berbuka (tidak puasa) selama puasa tersebut tidak menyengsarakan perjalanannya. Dan jika mengalami kesulitan (kesengsaraan), maka berbuka adalah lebih utama dari pada berpuasa.

Adapun kriteria masafatul qashri pada zaman dahulu (ketika alat transportasi masih sederhana) adalah perjalanan jauh yang minimal berjarak 2 marhalah / 16 fasakh / 4 barid / 2 hari perjalanan. Ukuran tersebut  dapat dikonversi dalam ukuran jarak kilometer, yakni terdapat beberapa perbedaan pendapat para Ulama' :

  1. Versi Imam Kurdi dalam Tanwirul Qulub : 80,640 Km
  2. Versi Imam Makmun : 89,999992 Km
  3. Versi Imam A. Husein Al Mishri : 94,5 Km
  4. Versi Mayoritas Ulama' : 119,99988 Km

2. Wanita yang sedang hamil dan atau menyusui anaknya diperpolehkan tidak berpuasa, namun tetap wajib baginya untuk mengqadla’ puasa yang ditinggalkannnya pada hari-hari yang lain.

و الحامل والمرضع إن خافتا على أنفسهما ضراراً يلحقهما بالصوم كضرر المريض افطرتا و وجب عليهما القضــــاء . وإن خافتا على أولادهــــــــــما اي إسقاط الولد في الحــــــامل وقلة اللبن في المرضع افطرتا و وجب عليهما القضاء للإفــطار والكــــــــفّارة أيضاً . والكفّارة ان يخرج عن كل يوم مد
  
فتح القريب للشيخ العلامة إبن القاسم الغزّي 

Jika wanita yang hamil dan atau menyusui tersebut tidak puasa karna kekhawatiran terhadap dirinya sendiri (semisal khawatir tidak kuat menjalankan puasa), maka baginya diperpolehkan tidak berpuasa, namun tetap wajib baginya untuk mengqadla’ puasa yang ditinggalkannnya pada hari-hari yang lain. Namun jika wanita yang hamil dan atau menyusui anaknya tidak berpuasa karna khawatir terhadap anaknya, bukan terhadap dirinya sendiri, semisal khawatir akan keguguran (bagi yang hamil) atau kekurangan ASI /air susu ibu (bagi yang sedang menyusui) karna sang ibu berpuasa, maka baginya wajib untuk mengqadla’ puasanya pada hari yang lain dan wajib juga atasnya membayar kafarat (1 mud/6 ons makanan pokok kepada fakir miskin, dari setiap hari yang ia tinggalkan tidak puasa).

3. Orang yang sedang sakit, jika ketika berpuasa dikhawatirkan sakitnya akan bertambah parah, atau ketika berpuasa dikhawatirkan kesembuhannya semakin bertambah lama, atau ketika berpuasa mengalami kesulitan dan kesengsaraan, maka baginya boleh tidak berpuasa, namun tetap wajib baginya untuk mengqadla’ puasanya pada hari-hari yang lain.

4. Orang yang sudah usia lanjut atau orang yang sedang sakit yang tidak ada lagi harapan sembuh.


و الشيخ والعجوز
والمريض لايرجى برؤه (إن عجز ) كل منهم عن الصوم (ويفطر ويطعم عن كل يوم مدّا . ولا يجوز تعجيل المدّ قبل رمضان ويجوز بعد فجر كل يوم
  
فتح القريب للشيخ العلامة إبن القاسم الغزّي 

Orang yang sudah usia lanjut atau orang yang sedang sakit yang tidak ada lagi harapan sembuh diperbolehkan tidak puasa, namun baginya wajib (sebagai ganti tidak puasa) membayar 1 mud (6 ons makanan pokok kepada fakir miskin) dari setiap hari yang ia tinggalkan tidak puasa. Tidak diperbolehkan untuk menta’jil membayar mud sebelum ramadlan. Akan tetapi boleh dilakukan setelah terbitnya fajar pada setiap hari.

5. Seseorang yang bekerja berat diperbolehkan tidak puasa, akan tetapi baginya wajib mengqadla’ puasanya pada hari hari yang lain.


ويلزم اهل العمل المشقّ في رمضان كالحصّادين و نحوهم تبييت النية ثمّ إن لحقه منهم مشقّة شديدة أفطر وإلاّ فلا . ولا فرق بين اجير العين و غيره والمتبرّع وإن وجد غيرَه وتأتي لهم العمل ليلاً


بشرى الكريم لباعشن الجز 2 صح 72 


Wajib hukumnya melakukan niat puasa dimalam hari dalam bulan ramadlan bagi pekerja berat (seperti para petani yang memanen tanamannya dan atau semacamnya). Kemudian apabila ia berpuasa mengalami kepayahan (kesengsaraan) yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Dan jika tidak mengalami kepayahan (kesengsaraan) yang berat, maka tidak boleh berbuka puasa. Tidak ada perbedaan antara buruh (pekerja), orang kaya, orang miskin, maupun orang yang bekerja karna Allah swt (tidak mengharap bayaran). Sekalipun masih ada orang lain yang dapat mengerjakan dan masih memungkinkan bekerja di malam hari.




Sumber :

  1. Fathul Qorib karya Syaikh Ibnul Qosim Al Ghozzy
  2. Bisyri Al Karim karya Ba 'Asyn
  3. Fikih Ibadah oleh Lembaga Ta'lif Wannasyr Pon Pes Al Falah Ploso Mojo Kediri

Niat Puasa Ramadlan

Niat Puasa Ramadlan


نويت صوم غد عن أدآء فرض شهر رمضان هذه السنة فرضا لله تعالى

Ramadlana atau Ramadlani ? Manakah yang benar ketika diucapkan dalam niat puasa Ramadhan ?

Sebelumnya perlu untuk diketahui terlebih dahulu, bahwa lafadz RAMADLAN adalah termasuk isim ghoiru Munshorif (isim yg tidak bisa menerima masuknya tanwin atau kasroh), illahnya adalah alamiyah dan ziyadah alif nun. Namun isim ghoiru munshorif, harus gugur ke-ghoiru munshorifannya (dalam artian, isim ghoiru munshorif berubah menjadi munshorif yakni harus menerima tanwin atau kasroh) manakala kemasukan Al atau berkedudukan sebagai mudhof (idhofah, bukan mudhof ilaih).

Dalam Kitab Baijury (juz 1 hal 555/Dar El Kutub El Ilmyyah) karya As Syaikh Ibrahim Al Baijury ala Madzhabis Syafi’i, menyebutkan :

قوله (رمضان هذه السنة) بإضافة رمضان إلى إسم الإشارة لتكون الإضافة معينةً لكونه رمضان هذه السنة ٖ و أيضاً على عدم الإضافة تكون هذه السنة ظرفاً لقوله "نويتُ وهو فاسد لأنّ ظرف النية اللحظة التي وقعت فيها من الليل لا السنة  

Penjelasan Mushonnif tentang kalimat “Ramadlan hadzihis sanah” itu dengan meng-idlofahkan Lafadz (kata) “ramadlan” kepada isim isyarah (hadzihi), bertujuan supaya adanya idlofah itu menentukan adanya ramadlan adalah ramadlan tahun ini. Dan juga, tidak adanya idlofah itu akan menjadikan hadzihis sanah berkedudukan sebagai dzorof terhadap ucapan “nawaitu”, dan yang demikian ini adalah rusak (makna dan susunannya), karna dzorofnya niat itu terjadi sesaat yang jatuh pada niat di malam hari, bukan waktu setahun.

Sedangkan dalam Kitab Qolyuby (juz 2 hal 53 / Dar El Fikr) karya As Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qolyuby ala Madzhabis Syafi’i, menyebutkan :

قوله (وفي اصل الروضة وكمال النيّة) وهي أولى (قوله بإضافة رمضان) إلى هذه فنونه مكسورة لأنّه مخفوض وذلك لإخراج توهّم صوم رمضان غير هذه السنة فيها او لدفع توهّم تعلق هذه بنويت ولا معنى له 

Penjelasan Mushonnif Di dalam asal pokok kitab Ar Roudlah di terangkan bahwa sempurnanya (mengucapkan niat dengan sempurna) adalah lebih utama. Dan Penjelasan Mushonnif tentang kata “ramadlan” itu dimudlofkan pada kata “hadzihi”, dan nun pada kata “ramadlan” tersebut dikasroh. Karna kata “ramadlan” dalam posisi jar. Keadaan yang demikian itu bertujuan untuk mengeluarkan pemahaman puasa ramadlan selain tahun ini didalamnya (niat tersebut), atau dengan tujuan untuk menolak pemahaman hubungan kata “hadzihi” terhadap kata “nawaitu”, dan untuk menolak tidak adanya makna pada (hubungan kata “hadzihi” terhadap kata “nawaitu”).

Maksudnya adalah, lafadz “Ramadlan” harus dimudlofkan terhadap lafadz “hadzihi” yang sebagai akibatnya adalah lafadz “Ramadlan” nun-nya harus berharakat kasrah, walaupun lafadz “Ramadlan” sebenarnya adalah isim ghoiru munshorif. Lafadz “Ramadlan” disini nun-nya harus berharakat kasrah adalah karna lafadz “Ramadlan” tersebut berposisi jar yang dalam keadaan mudlof terhadap lafadz “hadzihi”. Seperti yang telah dijelaskan diawal tadi, bahwa isim ghoiru munshorif itu harus gugur ke-ghoiru munshorifannya (dalam artian, isim ghoiru munshorif berubah menjadi munshorif), yakni harus menerima tanwin atau kasroh manakala kemasukan Al atau berkedudukan sebagai mudhof (idhofah, bukan mudhof ilaih).

Semua bertujuan untuk meniadakan pemahaman puasa ramadlan selain tahun ini, yakni puasa ramadlan pada tahun ini. Atau untuk meniadakan pemahaman yang tak bermakna dari susunan kalimat yang memposisikan hadzihis Sanah sebagai dzorof.

Sandainya lafadz “Ramadlan” pada kalimat tersebut tidak diposisikan sebagai mudhof (idhofah) kepada isim isyaroh (hadzihi), akan tetapi mendudukkan lafadz “Hadzihis Sanah” sebagai dzorof, maka seharusnya kalimat tersebut berbunyi “hadzihis sanata”, bukan “hadzihis sanati”. Dan itupun tentunya akan memunculkan pemahaman makna bahwa “aku niat pada tahun ini........”, bukan “aku niat puasa pada tahun ini........”. Karna setiap dzorof itu berta’alluq terhadap fi’ilnya, dalam hal ini adalah lafadz “Nawaitu”. Demikian ini dijelaskan dalam “Alfiyah Ibnu Malik”. Oleh karena setiap dzorof itu berta’alluq terhadap fi’il, karenanya kemudian dzorof disebut juga sebagai Maf’ul Ma’ah. 


Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa nait Puasa Ramadlan yang benar menurut pendapat As Syaikh Ibrahim Al Baijury dan As Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qolyuby, (serta diulas juga dalam I'anatut tholibin) adalah  :

نويت صوم غد عن أدآء فرض شهر رمضان هذه السنة فرضا لله تعالى 

Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i fardli syahri ramadlani hadzihis sanati fardlon lillahi ta'ala

Dan kemudian, kalau ada yang mengucapkan bahwa itu semua kan menurut pendapat ulama’ Fiqh, bukan Ulama’ Ahli Nahwu. Sebab menurut ilmu nahwu semua itu bisa terjadi, yang penting alasannya tepat. Maka, menurut pendapat saya, apakah seorang Ulama Mushonnif ahli fiqih itu bodoh terhadap ilmu nahwu ? kalau beliau adalah orang yang bodoh dalam bidang nahwu, mana mungkin beliau bisa menulis dan menyusun kitab yang berbahasa arab.

Wallohu A’lamu

 

Sumber :

  1. Baijury karya As Syaikh Ibrahim Al Baijury ala Madzhabis Syafi’i.
  2. Qolyuby karya As Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Salamah Al Qolyuby ala Madzhabis Syafi’i.

Puasa

Puasa

 
Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan sesuatu yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari dengan disertai niat tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarach Fatchul Qorib karya Syaikh Ibnul Qosim Al Ghozy :

الصيام وهو و الصوم مصدران معنهما لغةً الإمساك وشرعاً إمساكٌ عن مفطرة بنيّة مخصوصة
 
Shiyam dan shaum (puasa) adalah dua kalimat isim masdar yang keduanya mempunyai makna secara bahasa  berarti menahan diri. Dan menurut istilah syara’ adalah menahan diri dari perkara yang dapat membatalkan puasa dengan niat tertentu.

Macam atau bentuk puasa :

  1. Puasa Wajib (puasa ramadlan, puasa kafarat, puasa nadzar, puasa qodla’)
  2. Puasa Sunnah (puasa Sya’ban, puasa Rajab, puasa tanggal 9,10 dan 11 Muharram, puasa hari Tarwiyah dan Arafah, puasa hari senin dan kamis, puasa Yaumil baidl, puasa awal dan akhir bulan, dll)
  3. Puasa Makruh (puasa hari Syakk)
  4. Puasa Haram (puasa hari iedul fitri, puasa hari iedul Adha, puasa hari tasyriq yakni tiga hari setelah hari raya iedul adha tanggal 11, 12, 13 Dzul Hijjah, puasa wishal, puasa pada hari jum’at, puasa pada hari sabtu, dll)
Puasa Ramadlan adalah merupakan salah satu rukun islam yang ke 4 (empat). Mulai disyari’atkan puasa sebagai fardlu ‘ain kepada ummat islam adalah pada tahun kedua hijriyah, yakni sesudah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Seiring dengan turunnya ayat surat Albaqarah 183-184 : 

يايها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون . ايّاماً معدودات
 
Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan berpuasa atasmu, sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa. (yaitu) pada hari yang ditentukan. Sejak diturunkannya perintah puasa, Rosulullah SAW selama hidupnya telah mengerjakan puasa ramadlan sebanyak sembilan kali bulan ramadlan, delapan kali melakukannya dengan bilangan 29 hari, dan satu kali melakukannya dengan bilangan 30 hari. (Demikian keterangan yang disebutkan dalam shakhih Bukhari). Keadaan tersebut dikarenakan memang keadaan jumlah hari dalam kalender Hijriyah tidak dapat ditentukan, kadang 29 hari, dan kadang 30 hari. 

Ketentuan puasa ramadlan :


1. Dengan cara melihat bulan (ru’yatul hilal),
Sebagaimana sabda nabi yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dan Imam Muslim dari Abi Hurairah RA :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإنْ غمّ عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلثين يوما 

(رواه البخاري ومسلم)

Berpuasalah kalian ketika melihat bulan, dan berbukalah ketika melihat bulan. Dan jika terjadi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah hitungan sya’ban menjadi genap tiga puluh hari.

2. Dengan cara menggenapkan hitungan bulan Sya’ban menjadi genap 30 hari, bilamana proses ru’yatul hilal tidak tampak (bulan tertutup mendung).


3. Dengan ilmu hisab/ilmu perbintangan. Sebagaimana sabda nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i dan Imam Ibnu Majah :

عن ابن عمر رضي الله عنه عن رسول الله ﷺ قال إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا إن غمّ عليكم فاقدروا له
 
Ibnu Umar telah menceritakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : Apabila kamu sekalian telah melihat bulan (Ramadlan) maka berpuasalah. Dan jika kamu telah melihat bulan (Syawal) maka berbukalah. Dan jika terjadi mendung atas kalian maka kira-kirakanlah bulan itu.

Namun pada ketentuan ini pun bersyarat hanya dapat dilakukan untuk dirinya sendiri atau golongannya, dan tidak dibenarkan untuk meng-ikhbarbarkan kepada khalayak umum.


Syarat-syarat Wajib Puasa


Menurut Al Qodhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Abi Syuja’, syarat-syarat wajib puasa itu ada empat :

1. Beragama Islam.

Maksudnya adalah bahwa kewajiban puasa itu hanya diperuntukkan kepada orang-orang yang beragama islam. Selain orang yang beragama islam tidak sah melakukan ibadah puasa.

2. Mukallaf / Baligh (dewasa).

Yang dimaksud adalah bahwa tidak dibebankan kewajiban puasa kepada orang-orang yang belum mencapai umur baligh. Sedangkan bagi anak-anak yang belum baligh akan tetapi sudah tamyiz, puasanya masih dikatakan sah. Selain itu (yang belum tamyiz), tidak sah puasanya. Demikian dijelaskan dalam Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri. Namun bagi anak-anak yang belum mencapai umur dewasa dianjurkan untuk diperintah melakukan puasa ketika mencapai umur 7 tahun dalam rangka melatih diri, dan ketika telah menginjak umur 10 tahun (perintah untuk melakukan puasa tersebut) harus dibarengi dengan memukul terhadapnya, manakala perintah itu tidak lakukan (dalam artian mendidik, bukan memukul yang sampai menyakiti hingga menyebabkan luka).

3. Aqil (berakal). 

Ibadah puasa tidaklah juga dibebankan kepada orang-orang yang tidak berakal yakni gila dan semacamnya. Maka orang yang tengah menjalankan ibadah puasa, yang kemudian tiba-tiba hilang kesadarannya (bisa sebab gila, pingsan atau mabuk yang pada tingkatan sampai menghilangkan kesadaran) adalah membatalkan puasa. Dengan ketentuan, jika hilangnya kesadaran tersebut sampai pada waktu yang lama (sepanjang siang hari). Namun tidak membatalkan puasa bila hilangnya kesadaran masih dalam durasi waktu yang sebentar. Dengan pengertian bahwa jika seseorang hilang kesadaran, lalu kembali sadar masih di siang hari, dan ia dapati waktu siang tersebut walau hanya sekejap, maka puasanya sah. Kecuali jika ia tidak sadarkan diri pada seluruh siang (mulai dari shubuh hingga tenggelam matahari), maka puasanya tidak sah. Dan wajib baginya untuk meng-qadla’ puasanya (Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 551-552). 

4. Kuasa (mampu/kuat) melakukan puasa.

Maksud yang dikehendaki adalah orang-orang yang tidak dalam usia lanjut. Namun bagi orang yang dalam usia lanjut dan masih kuat melakukan ibadah puasa, maka baginya tetap berkewajiban melakukan puasa. Dan bagi orang yang lanjut usia dan tidak kuat melakukan puasa, maka baginya diperbolehkan untuk tidak puasa namun baginya berkewajiban membayar fidyah (tebusan) berupa 1 mud (6 ons makanan pokok) dari setiap hari yang ditinggalkannya, untuk faqir dan miskin. Termasuk juga seperti orang yang lanjut usia yang tiada mampu melakukan puasa adalah orang yang sedang sakit yang tidak ada lagi harapan sembuh. Sedangkan yang tidak mampu secara syar’i adalah seperti wanita haidh dan nifas. Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 552, dan Al Iqna’, 1: 404. Bagi wanita yang sedang haidl dan nifas bukan hanya dianggap tidak sah puasanya, bahkan haram hukumnya bagi wanita yang sedang haidl dan nifas melakukan puasa. Namun meskipun diharamkan melakukan ibadah puasa, baginya tetap berkewajiban meng-qadla’ puasanya pada hari-hari yang lain.

 

Rukun puasa


1. Niat. 

Niat adalah penyengajaan melakukan sesuatu yang dibarengkan ketika melakukan perbuatan tersebut. Penyengajaan yang tidak berbarengan dengan perbuatannya bukanlah disebut niat, akan tetapi adalah azam. Sedangkan niat puasa (waktunya berawal ketika telah terbenamnya matahari dan berakhir ketika terbit fajar untuk puasa wajib) adalah dikarenakan sulitnya mengetahui awal terbitnya fajar secara pasti, sehingga sebagai solusinya adalah dianjurkan untuk lebih meng-awal-kan niatnya (tabyit).

2. Menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa dari mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Hal-hal yang dapat membatalkan Puasa


Menurut keterangan Syaikh Ibrahim Al Baijuri dalam kitab khasiyahnya, bahwa hal-hal yang dapat membatalkan puasa ada sepuluh :

  1. Masuknya sesuatu (yang ada bentuk zatnya) dengan sengaja pada lubang tubuh yang alirannya menuju lambung (seperti makan dan minum yang dilakukan dengan sengaja). Namun apabila tidak sengaja (seperti lupa), maka tidaklah membatalkan puasa.
  2. Masuknya sesuatu (yang ada bentuk zatnya) dengan sengaja pada lubang tubuh yang terdapat dikepala. Berbeda halnya sesuatu yang tidak ada bentuk zatnya (seperti udara, aroma parfum, aroma makanan, asap, dll) maka tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, rokok tidak disamakan dengan sesuatu yang tidak mempunyai bentuk zatnya. Sebab rokok (asapnya) adalah mengandung nikotin. Karnanya, merokok adalah membatalkan puasa. (Demikian keterangan fatwa Az Ziyadi dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Abdur Rohman bin Muhammad bin husain bin Umar Ba ‘Alawy)
  3. Memasukkan (menyuntikkan) obat pada salah satu dari dua jalan (kemaluan dan anus).
  4. Muntah dengan sengaja. Namun bila muntah dengan tidak sengaja maka tidaklah membatalkan puasa.
  5. Bersetubuh (pada qubul maupun dubur) dengan sengaja. Walau dalam persetubuhan tersebut tidak sampai mengeluarkan sperma. Atau dengan kata lain, persentuhan kulit kepala kelamin laki-laki dengan bibir kelamin wanita (meski tidak sampai pada batasan memasuki) adalah sudah termasuk membatalkan puasa. Demikian yang dimaksud penjelasan dari kalimat “iltiqo’ul khitanaini”. Akan tetapi apabila persetubuhan dilakukan diluar kesengajaan (seperti seseorang yang lupa bahwa ia sedang puasa, maka tidaklah membatalkan puasa).
  6. Keluarnya air mani (sperma) dengan sengaja. Dengan pengertian bahwa baik itu dilakukan dengan persentuhan kulit (tanpa jima’) dengan tangannya sendiri (onani) ataupun dengan bantuan tangan istrinya. Berdeda halnya, bila keluarnya mani (sperma) karna tidur dan bermimpi yang sehingga keluar mani tidaklah membatalkan puasa.
  7. Haidl (datang bulan / menstruasi)
  8. Nifas (keluarnya darah setelah proses kelahiran anak)
  9. Gila. Walau hanya dalam durasi waktu yang sesaat. Berbeda halnya dengan orang pingsan ataupun mabuk, tidaklah membatalkan puasa jika dalam durasi waktu yang sesaat, kecuali jika sampai pada waktu yang lama (seluruh siang hingga terbenamnya matahari) maka membatalkan puasa.
  10. Murtad (keluar dari agama islam). Apabila seorang islam yang berpuasa kemudian murtad (keluar dari agama islam), maka puasa orang tersebut menjadi batal. Dan apabila ia kembali lagi pada agama islam, maka ia harus mengqodlo’i puasanya.




Sumber :

  1. Syarach Fatchul Qorib karya Syaikh Ibnul Qosim Al Ghozy Rahimahullah
  2. Matan Abi Syuja’ karya Al Qodhi Abu Syuja’ Rahimahullah